Minggu, 18 Maret 2012

Tugas yang Mustahil


Suatu saat Baginda Harun Al-Rasyid berangan-angan untuk memiliki istana di atas awan. Satu-satunya orang yang bisa diajak bicara tentang angan-angan tersebut adalah Abu Nawas. Maka ia pun segera memerintahkan pengawalnya untuk menganggil Abu Nawas.

Tanpa bertanya-tanya lagi, Abu Nawas bergegas ke kediaman sang Baginda. Wajah Baginda Harun Al-Rasyid langsung berseri-seri tatkala melihat kedatangan Abu Nawas yang sedang dinanti-nantikannya.


Kemudian Baginda mengutarakan maksud dipanggilnya Abu Nawas ke istana. "Aku ingin sekali membangunn istana di awang-awang, agar aku lebih terkenal dari raja-raja lain. Kira-kira menurutmu bisakah keinginanku ini terwujud, wahai Abu Nawas?" tanya Baginda.

"Tidak ada yang tidak mungkin  dilakukan di dunia ini paduka yang mulia," ucap Abu Nawas berusaha mengikuti arah pembicaraan Baginda.

"Kalau menurut pendapatmu begitu, maka aku serahkan sepenuhnya tugas ini kepadamu," ucap Baginda puas.

Abu Nawas terperanjat. Ia menyesal telah memberi angin kepada Baginda untuk mewujudkan angan-angannya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Kata-kata yang sudah didengar Baginda, tidak tmungkin ditarik kembali.

Baginda memberi waktu kepada Abu Nawas beberapa minggu untuk menyelesaikan tugas tersebut. Rasanya tidak ada yang lebih berat bagi Abu Nawas kecuali tugas yang diembannya sekarang. Jangankan membangun istana di langit, membangun sebuah gubuk kecil pun sudah merupakan hal yang mustahil dikerjakan.

Hari-hari berlalu seperti biasa, tak ada yang dikerjakan Abu Nawas kecuali memikirkan bagaimana membuat Baginda merasa yakin kalau yang dibangun itu benar-benar istana di langit. Seluruh pemikirannya dikerahkan, bahkan ia berusaha menjangkau masa kanak-kananknya. Sampai-sampai ia ingat bahwa dulu pernah bermain layang-layang.

Ingatannya terhadap layang-layang, mengilhami Abu Nawas untuk menemukan ide brilian tentang tugas aneh yang diberikan Baginda kepadanya. Bersama beberapa temannya, ia pun langsung merancang sebuah layang-layang raksasa berbentuk istana persegi empat. Lalu ia melukis layangan terebut dengan bentuk pintu-pintu, jendela-jendela, dan ornamen lainnya.

Layang-layang raksasa berbentuk istana akhirnya sudah rampung dibuat. Abu Nawas segera mengajak teman-temannya untuk menerbangkan layang-layang tersebut dari suatu tempat yang dirahasiakan.

Begitu layang-layang raksasa berbentuk istana itu mengapung di angkasa, penduduk negeri menjadi gempar. Sementara Baginda raja sangat gembira bukan kepalang. "Benarkah Abu Nawas berhasil membangun istana di langit?" batin Baginda.

Kemudian Baginda yang didampingi oleh pasukan pengawal Rajas segera menemui Abu Nawas. Dan, dengan bangga manusia yang paling cerdik ini berkata kepada penguasa negeri Seribu Satu Malam ini, "Paduka yang mulia, istana pesanan paduka sudah rampung."

"Engkau benar-benar hebat wahai Abu Nawas," ucap Baginda memuji Abu Nawas.

"Terimakasih Baginda yang mulia," ucap Abu Nawas.

"Lalu bagaiman caranya aku bisa ke sana?" tanya Baginda penasaran.

"Dengan tali, Paduka yang mulia," jawab Abu Nawas.

"Kalau begitu siapkan tali itu sekarang. Aku ingin segera melihat istanaku dari dekat," kata Baginda.

"Maafkan hamba, Paduka yang mulia. Hamba kemaren lupa memasang tali itu, sehingga salah seorang teman hamba tertinggal di sana dan tidak bisa turun," kata Abu Nawas.

"Lalu bagaimana dengan engkau sendiri wahai Abu Nawas? Dengan apa engkau bisa turun ke bumi?" tanya Baginda.

"Hamba turun ke bumi dengan menggunakan sayap, Paduka yang mulia," jawab Abu Nawas dengan bangga.

"Kalau begitu buatkan aku sayap supaya aku bisa gerbang ke sana!" Titah Baginda.

"Paduka yang mulia, sayap itu hanya bisa diciptakan dalam mimpi," kata Abu Nawas menjelaskan.

"Engkau berani mengatakan aku gila sepertimu?" Tanya Baginda dengan mata melotot.

"Ya, Baginda. Kurang lebih seperti itu," jawab Abu Nawas dengan berani.

"Apa maksudmu?" Tanya Baginda dengan berang.

"Baginda tahu bahwa membangun istana diawang-awang adalah pekerjaan yang mustahil dilaksakan. Tetapi Baginda tetap menyuruh hamba mengerjakannya. Sedangkan hamba juga tahu bahwa pekerjaan itu mustahil dikerjakan, tetapi hamba tetap menyanggupi titah Baginda yang tidak masuk akal itu," kata Abu Nawas berusha meyakinkan Baginda.

"Sebenarnya siapa diantara kita yang gila?" Tanya Baginda dengan jengkel.

"Hamba kira, kita berdua sama-sama tidak waras, Tuanku!" Jawab Abu Nawas sambil tertawa kecil.

Tanpa menoleh sedikitpun, Baginda Raja kembali ke istana bersama para pengawal kerajaan. Sementara Abu Nawas berdiri sendirian sambil memandang ke atas melihat istana terapung di awang-awang.

Sumber: Majalah Hikayah Edisi 08 TH. II

Share

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar