Senin, 12 Maret 2012

Adil Pada Isteri

Suatu ketika Abu Ja'afar al-Manshur, salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah, berselisih paham dengan isterinya, al-Hurrah. Sang isteri merasa diperlakukan tidak adil oleh suaminya. Ia pun bermaksud menuntut keadilan pada orang ketiga.

"Baik, siapa yang hendak engkau pilih sebagai penengah?" tanya Abu Ja'afar.

"Iman Abu Hanifah," jawab al-Hurrah.

Abu Ja'afar al-Manshur pun setuju. Keduanya segera mendatangi Abu Hanifah yang kala itu dikenal sebagai ulama yang berilmu dan berani memberikan jawaban dengan benar meski di hadapan penguasa sekalipun.


"Isteriku meminta keadilan," ujar Abu Ja'afar.

Abu Hanifah meminta sang Khalifah berbicara.

"Saya mau tanya, berapa wanita yang boleh menjadi isteri seorang laki-laki dalam satu waktu?' tanya Abu Ja'afar.

"Empat!" jawab Abu Hanifah.

"Berapa budak wanita yang boleh dimiliki? tanya Abu Ja'afar lagi.

"Tidak terbatas," jawab Abu Hanifah.

"Kalau isteriku mengatakan hal yang bertentangan dengan itu, apakah bisa dibenarkan?" tanya sang Khalifah lagi.

"Tidak," jawab Abu Hanifah.

Khalifah Abu Ja'afar lalu berkata kepada isterinya, "Jadi, engkau sudah tahu alasan tindakanku?"

Iman Abu Hanifah tersenyum lalu berkata, "Allah menghalalkan itu hanya untuk laki-laki yang adil. Barangsiapa yang tidak berbuat adil, atau takut tidak mampu berbuat adil, maka selayaknya tidak lebih dari satu isteri. Allah swt berfirman, "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka kawinlah seorang saja," (QS. an-Nisa: 3). Kita hendaknya bertindak dengan adab yang diajarkan Allah dan mengikuti petunjuk-Nya. 

Mendengar kata-katanya, Khalifah Abu Ja'afar al-Manshur diam seribu bahasa. Ia merasa salah telah memperlakukan isterinya secara tidak adil. Ia pun segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumahnya.

Sementara itu, ketika tiba dirumahnya, isteri sang Khalifah yang merasa telah dibela oleh Iman Abu Hanifah segera mengutus seorang pelayannya untuk membawa uang, pakaian, dan keledai sebagai hadiah untuk sang ulama. Al-Hurrah berharap hadiahnya menyenangkan hati Abu Hanifah. Sebab untuk mendapatkan hadiah dari isteri dari seorang Khalifah seperti dirinya tidak mudah. Tidak semua orang bisa mendapat penghargaan tinggi seperti itu.

Namun ternyata dugaan al-Hurrah salah. Abu Hanifah menolak hadiah tersebut. Kepada sang pelayan yang mengantarkan hadiah itu, Abu Hanifah berpesan, "Sampaikan salamku kepadanya. Aku hanya menjelaskan bab agamaku. Aku melakukannya semata untuk Allah, bukan untuk seseorang. Aku tidak juga mencari kepentingan duniawi dengan jawabanku."
Wallahu'alam!

Sumber: Hamdani, Majalah Sabili No. 23 TH. XI
Share

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar