Selasa, 27 Maret 2012

Pintu Akhirat


Tidak seperti biasa, hari ini Sultan Harun Al-Rasyid tiba-tiba menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupaan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun  agar lebih leluasa bergerak. Baginda mulai keluar ke istana dengan memakai pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan, beliau melihat beberapa orang tengah berkumpul.

Setelah baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang memberikan materi pengajian tentang alam barzakh. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung dalam majelis itu, tak lama kemudian orang itu bertanya kepada sang ulama. "Wahai ustadz, pada suatu waktu kami mengintip kubur orang kafir, tetapi kami tidak mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang mereka alami. Maka bagaimana caranya membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dilihat dengan mata zhahir?"


Ulama itu berpokor sejenak, kemudiann berkata, "Untuk mengetahui yang demikina itu harus dengan panca indera yang lain. Ingatkah kamu dengan orang-orang yang sedang tidur? Kadangkala dalam tidurnya ia bermimpi digigit ular, diganggu, dan sebagainya. Ia juga merasakan sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dengan keringat bercucuran di keningnya. Ia merasakan hal yang sama seperti ketika tersadar. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Maka, jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu disaksikan oleh mata zhahir, mungkinkah kamu bisa melihat apa yang terjadi di alam barzakh?"

Baginda merasa terkesan dengan penjelasan ulama itu, sebuah penjelasan yang amat gamblang dan mudah dicerna. Baginda pun terus mengikuti majelis tersebut, sedangkan sang ulama terus melanjutkan materi pengajiannya yang kali ini materinya berkaitan dengan alam akhirat.

Ulama itu mengatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda tersebut adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya, jauh lebih indah dari dunia dan isinya. Karena mahkota tersebut diciptakan dari cahaya. Baginda makin terkesan mendengar uraian tersebut, beliau pun akhirnya kembali ke istana.

Sesampai di istana, Baginda lalu memanggil Abu Nawas. Beliau sudah tidak sabar lagi menguji kemampuan manusia cerdik ini. Abu Nawas pun tanpa pikir panjang langsung bergegas ke istana.

"Begini Abu Nawas, aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga, kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanaya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?" Ucap Baginda.

"Sanggup Paduka yang mulia," jawab Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu.

"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu syarat yang akan hamba ajukan," lanjut Abu Nawas.

"Apa syarat itu?" Tanya Baginda.

"Hamba mohon Baginda menyediakan pintu agar hamba bisa memasukinya," pinta Abu Nawas.

"Pintu apa?" Tanya Baginda belum mengerti.

"Pintu alam akhirat," jawab Abu Nawas. "Apa itu?" Baginda makin penasaran.

"Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-maasing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzakh adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Sedangkan surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat lebih dahulu," tutur Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas, Baginda menjadi terdiam.

Di sela-sela kebingungan Baginda, Abu Nawas bertanya, "Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?"

Baginda Sultan tiak menjawab, beliau diam seribu bahasa. Melihat kondisi tersebut, Abu Nawas langsung mohon diri kembali ke rumah. Ia tidak ingin menjatuhkan kredibilitas Baginda di hadapan petinggi istana.

Sumber: Majalah Hikayah, Edisi 09 TH. II
Share

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar