Senin, 14 Januari 2013

Zaid bin Tsabit, Penulis Wahyu al-Qur'an yang Rendah Hati

Pada bulan Muharam tahun 2 H di Madinah, ketika Rasulullah saw melakukan inspeksi terakhir terhadap pasukan yang akan diberangkatkan ke medan jihad di bukit Badr, tiba-tiba suasana terganggu dengan datangnya seorang anak kecil berusia 10 tahun yang menguak jalan dan berusaha keras mendekati Rasulullah saw. Di tangannya tergenggam sebuah pedang yang panjangnya melebihi tinggi badannya. Ia berjalan tanpa takut dan ragu-ragu melewati barisan tentara muslimin itu menuju ke hadapan Raulullah saw.

Begitu berada di hadapan Rasulullah, ia berkata, "Saya bersedia mati untukmu wahai Rasulullah, izinkanlah saya pergi jihad bersamamu, memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panjimu."

Rasulullah saw menengok anak tersebut dengan pandangan gembira dan takjub. Beliau menepuk-nepuk pundak anak itu sebagai tanda kasih dan simpati. Namun beliau tidak menginzinkan permohonannya karena anak itu masih muda.


Begitu sedihnya anak itu mendengar penolakan Rasulullah saw. Dengan langkah gontai dan kecewa, ia kembali ke rumah yang diikuti oleh ibunya, Nuwar binti Malik, dari belakang. Namun anak tersebut tidak kehabisan akal. Penolakan Rasulullah saw tersebut membuatnya lebih berfikir panjang lagi. Ia berusaha mensiasati agar bisa membantu perjuangan Rasulullah saw yang tidak ada hubungannya dengan batas usia.

Setelah lama berpikir, anak itu tidak lain adalah Zaid bin  Tsabit, mengakui akan kemampuan akalnya yang sangat tajam dalam menerima ilmu dan lekat dalam setiap hafalan. Mungkin dengan  bekal kecerdasan dan hafalannya yang kuat, Zaid berharap bisa membantu perjuangan Rasulullah saw pada sisi yang lain. Sang ibu sangat gembira dan memberi respon yang tinggi terhadap keinginan anaknya, begitu juga dengan beberapa kerabat dekatnya. Mereka segera menemui Rasulullah saw.

Salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah, ini anak kami (Zaid bin Tsabit). Ia telah menghafal 17 surah dari kitab suci al-Qur'an dan mampu mendeklamasikan sebagaimana Allah saw menurunkan kepadamu. Ia juga sangat pandai membaca dan menulis. Barangkali dalam bidang ini ia bisa membantumu, Wahai Rasulullah. Bila Rasul berkenan, silakan membuktikan ucapan kami."

Rasulullah saw pun  setuju dan bersiap mendengar bacaan anak itu. Ternyata benar, bacaan Zaid terdengar begitu jelas, indah, dan fasih. Bacaannya menimbulkan pengaruh yang berkesan. Makhroj dan tajwid nya sangat tepat, menunnjukkan bahwa ia paham dan mengerti dengan baik apa yang dibacanya.

Rasulullah saw sangat senang melihat kemampuan Zaid dalam membaca al-Qur'an. Beliau melihat bakat yang luar biasa pada diri Zaid. Salah satu bakat yang menonjol adalah dalam bidang bahasa. Rasulullah saw kemudian menghampirinya dan berkata, "Jika engkau ingin selalu dekat denganku pelajarilah bahasa tulis bahasa Ibrani. Karena saya tidak percaya pada orang Yahudi yang menguasai bahasa tersebut untuk menjadi penterjemah."

"Saya siap. wahai Rasulullah saw," jawab Zaid.

Dengan tekun Zaid mempelajari bahasa Ibrani yang dipakai sebagai dialektika sehari-hari oleh orang Yahudi. Berkat kecerdasan otaknya, dalam waktu singkat ia dapat menguasai bahasa tersebut dengan lancar, baik dalam berbicara maupun menulis dan membaca. Selain itu, beliau juga mempelajari bahasa Syiria yaitu Suryani. 

Karena kepandaiannya dalam bidang bahasa, selain ditugaskan sebagai ahli bahasa, Zaid juga dipilih Rasulullah saw sebagai pencatat al-Qur'an Karim. Rasulullah memang memiliki beberapa pencatat wahyu, namun Zaid bin Tsabit menduduki posisi yang sangat penting.

Bila wahyu turun, Rasulullah saw memanggil Zaid. Lalu beliau membacakan kepadanya untuk dihafal dan dituliskan pada kulit unta, batu-batu, tulang belulang, atau pelepah kurma. Zaid menuliskan al-Qur'an yang didiktekan itu secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat. Akibatnya Zaid menjadi sasaran pertanyaan tentang al-Qur'an sesudah Rasulullah saw wafat.

Dalam sejarah disebutkan, ketika terjadi perang Yamamah, sejumlah sahabat yang hafal al-Qur'an gugur sebagai syuhada. Umar bin Khattab lalu menasehati Abu Bakar As-Shiddiq yang ketika itu menjadi khalifah pengganti Rasulullah saw. Apabila al-Qur'an tidak dikumpulkan menjadi satu mushaf, dikhawatirkan akan banyak yang hilang. Abu Bakar sangat setuju saran sahabat yang bergelar al-Faruq ini.

Mereka  lalu memanggil Zaid bin Tsabit. "Engkau anak muda yang bijaksana," kata Abu Bakar mengawali pembicaraannya. "Kami percaya kepadamu. Kau telah menulis wahyu Rasulullah saw. Karena itu kumpulkanlah lembaran lembaran ayat al-Qur'an yang kamu tulis menjadi satu."

"Masya Allah," ucap Zaid, seolah-olah bumi diletakkan di atas pundaknya. "Tugas yang sangat berat, tak bedanya seperti diminta untuk memindahkan gunung."

Meskipun tugas tersebut sangat berat, namun Zaid bersama temannya yang lain dengan penuh kesungguhan hati mulai mengumpulkan wahyu. Zaid ditunjuk sebagai ketua tim penulis dan pengumpul wahyu. Tugas itu diselesaikan degan baik. Wahyu yang sudah lengkap dikumpulkan dan ditulis menjadi sebuah mushaf itu diserahkan kepada Abu Bakar as-Shiddiq.

Sejak saat itulah mushaf al-Qur'an yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya itu menjadi rujukan utama bagi generasi sesudahnya.

Sebelum Abu Bakar wafat, ia menitipkan kumpulan mushaf al-Qur'an tersebut kepada Umar bin Khattab. Kemudian Umar menyerahkannya kepada isteri Rasulullah saw yang juga anaknya, yaitu Hafshah. Dalam sejarah tercatat pula bahwa Hafshah, Ummu Salamah, dan Aisyah merupakan isteri Rasulullah saw yang hafal al-Qur'an.

Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai al-Qur'an telah mengangkatnya menjadi penasehat kaum muslimin. Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum selalu meminta fatwa beliau tentang hal-hal yang rumit. Selain itu Zaid juga sangat  mahar dalam hukum waris.

Tatkala Zaid berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin terlihat sangat berduka. Karena pelita ilmu yang menyala telah padam. Berkata Abu Hurairah, "Telah wafat samudera ilmu umat ini. Semoga Allah swt menggantinya dengan Ibnu Abbas."

Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rakhmat dan redha-Nya kepada sang penulis wahyu ini.


Share

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar