Senin, 07 Januari 2013

Abdullah Bin Rawahah, Menunggu Rasul di Pintu Surga

"Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya kita memerangi musuh bukan  karena jumlahnya dan kekuatan mereka, tapi karena mempertahankan agama yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah. Maka majulah ke depan. Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, yaitu menang atau mati syahid di jalan Allah."

Itulah orasi paling megah yang pernah diucapkan Abdullah bin Rawahah kepada pasukan muslimin dalam ekspedisi Mu'tah. Ketika itu pasukan muslimin yang sedang berada di Ma'an mengalami kegalauan ketika mengetahui bahwa jumlah tentara musuh jauh lebih besar. Mereka sudah bersepakat untuk melaporkan kepada Nabi guna minta tambahan pasukan atau menunggu perintah selanjutnya.


Keputusan untuk maju dan berbicara di depan pasukan yang jumlahnya 3.000 orang dan mengucapkan kalimat penggugah semangat itu didasari oleh kepiawaiannya berpuisi di depan publik, termasuk di depan Nabi Muhammad saw. Apalagi ketika itu umurnya masih tergolong muda. Ia memang seorang penyair yang syairnya meluncur dengan kuat dan enak didengar. Rasulullah menyukai dan menikmati buah karyanya dan bahkan mendorongnya untuk menekuni profesinya itu.

Ketika mempersiapkan ekspedisi ke Mu'tah pada bulan Jumadilawal tahun 8 H (629 M), Nabi Muhammad mengerahkan 3.000 pasukan pilihan dari sahabat-sahabatnya. Ternyata, setelah sampai di daerah pertempuran, mereka menemui kenyataan bahwa musuh mengerahkan pasukan jauh lebih banyak dari itu. Mereka gabungan 100.000 orang tentara Romawi di bawah komando Theodore, dan ditambah 100.000 lagi orang-orang Arab dan budak-budak dari Lakhm, Judham, Qain, Bahra', dan Bali. Wajar bila kekhawatiran melanda pasukan muslimin.

Menghadapi situasi yang tidak kondusif itu, Abdullah bin Rawahah yang terkenal sebagai penyair yang ksatria, tampil di hadapan tentaranya dan meluncurkan kalimat orasi seperti dikutip diawal tulisan ini. Padahal ia adalah komandan ketiga. Komandan pertama dan kedua adalah Zaid bin Haritsah dan Ja'far bin Abi Thalib. Mereka secara bergantian memimpin pasukan bila yang lain telah gugur.

Atas kehendak Allah swt, kalimat itu mampu mengobarkan semangat juang pasukannya. Mereka beramai-ramai menyambutnya dengan ucapan yang tak kalah heroik, "Wahai Ibnu Rawahah, demi Allah ucapanmu itu benar." Maka majulah pasukan yang sedikit itu ke medan jihad. Namun dengan kehendak Allah jua, ketiga komandan itu mati syahid di jalan Allah dalam ekspedisi tersebut dan tentara muslimin ditarik mundur ke Madinah atas prakarsa Khalid bin Walid.

Ketika mendengar berita itu, Nabi Muhammad saw sangat terharu, terutama terhadap Zaid dan Ja'far. Kepada para sahabat yang sengaja menanti kabar dari medan perang itu, Nabi saw mengatakan, "Mereka bertiga telah diangkat kepadaku di syurga seperti mimpi orang yang sedang tidur di atas ranjang emas. Namun kulihat ranjang Abdullah agak miring."

"Mengapa begitu?" tanya sahabat.

"Zaid dan Ja'far terus maju, tapi Abdullah agak ragu, meskipun ia juga terus maju," jawab Nabi.

Keraguan Abdullah ini tidak disebabkan oleh ketakutan, melainkan keinginannya untuk turun dari kuda setelah berhasil meraih bendera dari tangan Ja'far yang telah gugur karena sabetan pedang musuh. Dia maju dengan kudanya sambil membawa bendera itu. Sementara itu ia bimbang, apakah akan turun saja dari kudanya. Setelah tercenung sebentar, diambilnya pedang dan maju bertempur sampai akhirnya ia gugur juga.

"Mereka bertiga diangkat ke surga," kata Nabi saw. "Mereka telah diangkat untuk menungguku di syurga."

Dengan jalan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan orang-orang quraisy, sebanyak 12 orang utusan dari Madinah datang ke Makkah untuk menemui Rasulullah. Mereka ini kemudian dibaiat Rasul dalam suatu kesempatan yang terkenal dengan nama Bai'ah al Aqabah al Ula (Baiat Aqabah yang pertama). Abdullah bin Rawahah termasuk salah satu dari 12 orang Anshar itu. Sesudah diambil janji setianya itu, mereka menjadi kelompok pertama yang menyebarkan agama Islam di Madinah. Tahun berikutnya sebanyak 75 orang Anshar dibaiat lagi dalam acara Aqabah kedua. Sesudah itu Rasul dan sahabat-sahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana.

Abdullah bin Rawahah menempatkan dirinya sebagai pengawas sepak terjang dan tipu muslihat Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik setempat yang merasa terusik dengan hadirnya Muhammad di sana karena ia konon akan diangkat oleh penduduk Madinah sebagai 'raja' di kota itu. Maka dengan segala cara,  ia pu  menggunakan setiap kesempatan untuk mengusir Muhammad dari sana. Disinilah peran Abdullah bin Rawahah dalam mementahkan setiap gerakan Ibnu Ubay yang ternyata ampuh sehingga Nabi saw dan para pengikutnya tinggal di Madinah selama beberapa tahun.

Sebagai penyair, Ibnu Rawahah cukup produktif. Tidak sedikit syairnya menjadi buah bibir di antara para sahabat. Tidak sedikit juga yang menjadi selogan perjuangan, karena dia juga terlibat langsung dalam beberapa peperangan yang terjadi kala itu, seperti perang Badar (bulan ke-19 setelah Hijrah), perang Uhud (tahun 3 H), perang Khandaq (bulan Zulqa'idah tahun 5 H), perang Hudaibiyah (tahun 6 H), dan perang Khaibar (bulan Muharram tahun 7 H). Ia bahkan mengakhiri hidupnya dalam perang Mu'tah (tahun 8 H).

Wallahu'alam!

Share

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar