Kita semua setuju bila salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memiliki keturunan. Tentunya, tidak ada satu pun pasangan suami-isteri yang tidak menghendaki kehadiran anak di tengah-tengah mereka.
Sayangnya tidak dapat dipastikan semua pasangan dapat memiliki anak. Rahim yang kurang subur, penyakit yang menghalangi pasangan memperoleh keturunan, atau hal-hal lain yang menghambat para orang tua mempunyai keturunan. Tak pelak, bila untuk memperoleh keturunan secara biologis ini begitu sulit, sampai kini, salah satu cara yang masih mungkin dilakukan adalah dengan mengangkat anak (adopsi).
Islam memiliki aturan secara khusus menyikapi hal tersebut. Dan aturan adopsi dalam Islam berbeda dengan tadisi mengadopsi anak dalam agama-agama lain atau adat tradisi yang berkembang di berbagai tempat. Islam membenarkan adopsi namun melarang penisbatan nama orang tua angkat kepada anak angkatnya. Misalnya si Ahmad diangkat oleh si Hasan sebagai anaknya. Lalu nama Ahmad secara otomatis menjadi Ahmad bin Hasan.
Cara adopsi seperti itu gaib dilakukan dalam kebudayaan dan agama-agama manapun di belahan dunia. Cara adopsi yang demikian itu pernah berlaku di zaman Rasulullah saw sebelum beliau mendapat teguran dari Allah swt. Waktu itu beliau mengangkat Zaid bin Harits, seorang budak yang dibeli oleh Hakim bin Hizam, saudara isteinya, Khadijah, sebagai anaknya. Saat Said telah diangkat Rasulullah sebagai anak, maka penisbatan nama Zaid menjadi Zaid bin Muhammad. Penisbatan nama Muhammad pada Zaid menandakan bahwa Zaid telah sah menjadi anak Rasulullah saw seperti halnya anak kandung rasul yang lain.
Dengan tegas Allah swt melarang cara adopsi yang sudah lama dipraktekkan oleh masyarakat jahiliyah tersebut. Ketentuan itu dijelaskan dalam surat al-Ahzab ayat 4-5. "Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada seseorang. Dan tidak pula menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu menjadi ibumu. Dan tidak pula menjadikan anak angkatmu menjadi anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah ucapan di mulut saja. Dan Allah mengatakan kebenaran. Dan dia menujuki jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu) seagama dan maula-maulamu."
Jadi, Islam membolehkan adopsi anak, tetapi melarang kita mengklaim anak-anak angkat itu sebagai anak kita sendiri. Karena itu, orang tua angkat harus jujur menjelaskan kepada anak angkatnya siapakah dirinya sebenarnya sejak anak itu masih kecil. Jika itu baru dilakukan setelah si anak besar, maka akan timbul kekecewaan dalam hatinya, karena merasa dibohongi.
Sebagai orang tua angkat, kita harus menyadari bahwa posisi kita di depan mereka hanyalah sebagai orang tua angkat, dan bukan orang tua kandung mereka, yang tentu saja tidak dapat menjadi wali jika anak angkat tersebut menikah. Sedini mungkin mereka harus diberi penjelasan tentang statusnya dalam keluarga, sehingga di kemudian hari tidak timbul kemudharatan yang merugikan semua pihak, baik orang tua angkat maupun anak angkat. Wallahu'alam bil shawab.
Sumber: Sari Narulita, Majalah Sabili, Tahun 3 Edisi 29
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar