Seorang pujangga Arab pernah berkata, "Lidah itu lebih tajam dari ujung tombak yang terhunus." Atau barangkali, sebagian kita ada yang berfikir lebih dari apa yang diperumpamakan pujangga Arab itu. Bahwa sebilah ujung tombak belumlah memadai untuk melukiskan perihalnya lidah. Bisa jadi, kejahatan lewat lidah itu memiliki daya penghancur layaknya sebuah dinamit yang mampu meluluh-lantakkan satu bangunan megah.
Begitulah, betapa tutur kata yang keluar dari sepotong lidah bisa lebih menyakitkan ketimbang benda-benda tajam lainnya. Ia bukan sekedar sebaris kalimat yang meluncur dari mulut kita, lalu hilang bersama angin. Tapi juga sederet makna dan pesan yang bisa ditangkap oleh setiap orang dengan segala tafsirnya. Dan kemudian ia menyelinap ke dalam sanubari sang pendengar. Ada yang terluka karena kata-kata yang kita sampaikan, ada pula yang merasa dibahagiakan.
Persoalannya kita tidak tahu, apakah kata yang kita ucapkan itu menyakitkan atau meneduhkan. Kata-kata itu keluar begitu saja, entah dalam perbincangan sehari-hari, diskusi ataupun dalam sekedar senda gurau belaka. Bagi kita yang bertutur, mungkin tidak jadi masalah, namun belum tentu bagi orang yang mendengar.
Oleh karena itulah, Rasulullah saw menyodorkan 'diam' sebagai solusinya. Sabdanya, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah swt dan Hari Akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak) diamlah." (H.R. Bukhari).
Dai sinilah diam menjadi teramat penting maknanya. Dengan diam, kita belajar menyaring kata, menakar ucapan, dan menyampaikan kata sesuai porsi dan keperluannya. Dan sekiranya kita harus mengeluarkan kata-kata, sebaiknya sederet kalimat yang kita lahirkan telah tersaring menjadi sebuah ungkapan yang benar-benar berfaedah. Begitu juga dalam bersenda gurau.
Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penutur yang baik, tapi juga pendengar yang bijak. Jika tidak, maka bersiap-siaplah memasuki pintu neraka sebagaimana Rasulullah saw katakan kepada Mu'adz bin Jabal, "Tidak mungkin manusia akan terus di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka." (H.R. Tirmidzi). Wallahu'alam bil shawab.
Sumber: Muaz, Majalah Sabili, Tahun 3 Edisi 29
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar