Tingkat perekonomian manusia, sudah dari dulu memiliki dua wajah, ada orang kaya dan ada orang miskin. Tradisi ini berlangsung terus-menerus dan membentuk sistem interaksi yang saling terkait antar dua golongan yang berbeda. Tatkala si kaya merasa bangga dengan kekayaannya dan merasa sah untuk melakukan pola-pola penindasan terhadap si miskin, maka lahirlah yang dinamakan perbudakan.
Kekayaan identik dengan kenikmatan yang berbau materialisme. Siapa pun orangnya yang bisa memperoleh dan bisa menikmatinya, ia termasuk kalangan beruntung, sebab bisa berkuasa dengan menggunakan materi. Terlepas apakah kekayaannya itu berasal dari harta waris atau memang karena jerih payahnya selama hidup.
Lain halnya dengan posisi si miskin yang selalu terkurung dengan belitan persoalan ekonomi. Persoalan hidup yang dijalani, menuntutnya selalu mengencangkan ikat pinggang. Tentu ini akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan si kaya yang tak peduli dengan ukuran celananya. Meski terus disadari, kekayaan tidak hanya bermakna harta tapi juga hati dan jiwa.
Posisi si miskin yang tidak mendapatkan penghidupan yang layak, kadang kala melahirkan mimpi-mimpi. Seandainya ia menjadi orang kaya, bisa tidur di ruangan ber-AC, liburan keluar negeri, atau mandi sauna yang menawarkan relaksasi. Tetapi bagaimana pun, itu akan tetap menjadi mimpi, selama tidak ada usaha untuk memperbaiki taraf hidup.
Kemiskinan bukan menjadi momok dalam perjalanan hidup manusia. Kemiskinan merupakan kesempatan bagi manusia untuk lebih dewasa dalam menghayati betapa sulitnya hidup itu. Artinya, kemiskinan bukan permasalahan tetapi sebuah tantangan. Sebab, pergulatan selama menjalaninya merupakan pengalaman langka yang tidak setiap orang kaya pernah mengalami.
Apabila manusia bisa keluar dari belitannya, maka ia akan merasakan kemenangan yang luar biasa, lebih dahsyat dibandingkan memperoleh kekayaan dari warisan.
Kemiskinan atau kesengsaraan tidak selayaknya ditampakkan dengan mengenakan pakaian-pakaian kotor, robek, dan kusut. Lalu mengeluh karena derita yang diterima dan sampai meminta selain kepada Allah. Sikap-sikap inilah yang dibenci oleh Allah swt, karena Dia menyukai keindahan dan ingin para hamba-Nya menampakkan nikmat yang telah diberikan-Nya.
Sedikit apapun nikmat yang telah diberikan Allah swt, patut disyukuri. Oleh sebab itu, perindahlah penampilan lahiriah, sepadan dengan kemampuannya. Rasulullah saw suatu ketika melihat pria menggunakan pakaian kotor. Maka beliau bersabda: "Apakah engkau memiliki harta?" Pria itu menjawab, "Segala macam harta telah Allah berikan kepadaku berupa onta dan domba." Lalu beliau Nabi bersabda, "Maka perlihatkan pada dirimu." (Shahih Sunaan At-Tirmidzi: 1632).
Maka hadits diatas menyuruh manusia untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Maka, sudah sepatutunya bagi hamba-Nya untuk menghiasi diri mereka dengan menampakkan nikmat-Nya. Bukan dengan menampakkan kesengsaraan dan kemiskinan.
Sumber: Ronie L.A, Majalah Sabili, Tahun 4 Edisi 37
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar