Selasa, 14 Agustus 2012

Kisah Sebutir Buah Apel

Dikisahkan, suatu hari Abu Shalih Zangi Dost duduk-duduk di tepi sungai. Sudah berhari-hari perutnya belum diisi. Dalam lamunannya, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah benda terapung yang terbawa arus. Benda itu ternyata sebuah apel. Tanpa pikir-pikir lagi dipungutnya buah apel itu lalu dia memakannya. Namun seketika itu juga dia menyesal karena makan buah tanpa seizin pemilik kebun. Ia pun pergi kearah hulu sungai, mencari pemilik kebun apel guna meminta halalnya. Setelah berjalan lebih dari 10 kilometer akhirnya dia sampai di kebun milik Abdullah ibn Shaumai. Dia lalu meminta maaf kepada pemilik kebun itu.

"Nak! Saya bersedia memaafkan Anda," kata Abdullah.


"Kalau begitu saya sangat berterima kasih, semoga Allah memberi pahala yang berlipat atas kedermawanan hati Bapak," balas Abu Shalih dengan senang.

"Tapi, tunggu dulu anak muda, saya belum selesai bicara," cegat Abdullah. 

"Ada persyaratan tertentu, barangkali," jawab Abu Shalih berdiplomatis.

"Persis. Saya mau memaafkanmu jika kamu bersedia menikah dengan putri saya yang buta, bisu, dan lumpuh," jelas Abdullah.

Syarat yang cukup berat, tetapi apa boleh buat. Demi mendapatkan kehalalan sebuah apel, Abu Shalih menerima syarat itu. Dan alangkah kagetnya dia ketika masuk ke kamar pengantin, ia melihat sesosok gadis cantik, yang suaranya mendayu bagai hembusan angin sepoi-sepoi, dan tidak cacat. Ia langsung berpaling mengira salah kamar.

"Ada apa gerangan?" tanya Abdullah.

"Dia bukan isteri saya. Isteri saya buta, bisu, dan lumpuh," jawab Abu Shalih dengan jujur.

Mertuanya tersenyum. "Ia benar Fathimah, putriku, yang telah kukawinkan denganmu. Adapaun gambaran yang kuberikan itu hanyalah kiasan belaka. Putriku 'buta' karena ia tidak pernah melihat hal-hal yang tidak menyenangkan. Ia 'bisu' lantaran tidak pernah mengucapkan kata-kata yang kotor. Dan ia 'lumpuh' karena tidak pernah keluar rumah."

Demikianlah dengan senang hati Abu Shalih menerima Fathimah yang cantik dan menjaga kehormatan diri, sebagai isterinya. Dari pasangan ini, lahirlah seorang anak laki-laki pada 1 Ramadhan 471 H, yang diberi nama Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.

Sumber: Eep Khunaefi, Majalah Hidayah, Tahun 3 Edisi 36

Share

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar