Selasa, 25 Desember 2012

Muththarif Bin Abdullah Bin Asy-Syikhkhir, Ahli Hikmah dan Doa

Seorang 'abid (ahli ibadah) dan ahli syukur, Muththarif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir. Kepada dirinya ia menghina, kepada Allah ia mengagungkan. Abu Nu'aim dalam kitabnya, al-Huliyah, menyebutkan bahwa tokoh tabiin ini dilahirkan di masa Nabi saw, tapi tak sempat bersua dengannya. Namun Muththarif merasa beruntung terlahir di zaman yang baik. Maka ia pun giat menimba ilmu, memburu hikmah, hingga berhasil menjadi imam bagi kaum Muslimin, menjadi seorang yang alim tentang agamanya, seorang ahli ibadah dari Bashrah yang berhias zuhud.

Seorang ulama yang bernama al-'Ajali menyematkan sifat padanya sebagai seorang tsiqah dari kalangan tabiin. Sedang Ibnu Hibban dalam kitabnya, at-Tsiqat, menyebutnya sebagai seorang laki-laki yang shalih.


Saudaranya, Yazid bin Abdullah berkata, "Muththarif lebih tua dariku sepuluh tahun. Sedang saya lebih tua dari Hasan al-Bashri sepuluh tahun." Adz-Dzahabi menambahkan, "Muththarif dilahirkan pada tahun terjadinya perang Badr atau Uhud. Mungkin ia sempat bertemu Umar bin Khaththab atau Ubay bin Ka'ab."

Muththarif menghabiskan hari-harinya dengan berperilaku baik. Ia tak pernah melewatkan hari kecuali langsung mengevaluasinya. Ibadahnya pada Allah berlandaskan ilmu dan fiqih. Tak melampaui batas, tidak pula mempersulit. Renungkan kalimatnya, "Malam tidur dan paginya menyesal, lebih saya sukai dari pada malam tidak tidur namun siangnya kaget."

Dari ucapannya itu, terlihat kedalaman fiqihnya. Untuk mengetahui tentang evaluasi atau muhasabah terhadap dirinya, simak ungkapannya, "Untuk menyambut malam dan menjauhi tempat tidur, aku mentadabburi al-Qur'an. Aku membandingkan amalanku dengan amalan penghuni surga. Sungguh amalan mereka luar biasa. Allah berfirman (yang artinya), 'Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun kepada Allah'. (QS. Adz-Dzariyat: 17). Sungguh aku tak melihat diriku ini menjadi bagian dari mereka."

"Maka aku mengalihkan perhatianku pada ayat, 'Apakah yang memasukkan engkau kedalam saqar (neraka)?' (QS. al-Muddatstsir: 42). Lalu aku dorong diriku dengan ayat, 'Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka. Mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik, pekerjaan lain yang buruk.' (QS. at-Taubah: 102)."

Allah memberikan kemuliaan kepada Muththarif yang tidak diberikan kecuali pada para kekasih-Nya: orang-orang yang beribadah dengan ikhlas dan menempuh jalan yang lurus. Allah memberikan kemuliaan dengan beragam karamah yang membedakannya dengan orang-orang biasa.

Syahdan, ketika memasuki rumahnya, seisi rumah bertasbih. Suatu ketika, ia bersama temannya berjalan di kegelapan malam. Tiba-tiba, di ujung cambuk mereka tampak cahaya. Temannya berkata, "Seandainya hal ini kita bicarakan pada orang-orang, pasti mereka akan mengingkarinya." Muththarif menjawab, "Para pendusta banyak berbohong. Maksudnya, orang yang mengingkari nikmat Allah adalah pembohong."

Muththarif adalah ahli hikmah. Kata-katanya adalah bernas dan mengandung makna mendalam. Ia pernah berkata, "Seandainya aku bisa mengeluarkan hatiku dan meletakkannya di tangan kiriku, lalu didatangkanlah kebaikan dan diletakkan di tangan kananku. Sungguh aku tak akan bisa mengobati hatiku hingga Allah meletakkannya."

Ia juga mengatakan, "Seandainya seseorang melihat hewan buruan, dan buruan itu tidak melihatnya. Bukankah ia akan mampu membidik hewan buruan itu? Seseorang menjawab, "Ya." "Begitulah setan. Ia melihat kita dan kita tidak melihatnya. Maka bisa jadi kita terkena (terpedaya)," ucap Muththarif.

Ia juga berkata, "Sungguh maut akan merenggut kenikmatan dari tangan orang-orang yang diberi nikmat. Maka mintalah kenikmatan yang tak pernah mati. Adakah kenikmatan yang tak akan pernah mati? Itulah kenikmatan penghuni surga yang kekal."

Beginilah Muththarif menghabiskan masa hidupnya. Ia tak larut dengan kebanyakan prilaku orang. Ia menghabiskan malam dan siang harinya dengan bermuhasabah. Maka tak heran kalau doanya selalu dikabulkan.

Suatu ketika Hajjaj bin Yusuf memenjarakan Mauruq al-'Ajali, Muththarif berkata pada para sahabatnya, "Mari kita berdoa. Aminilah!" Lalu ia berdoa dan teman-temannya mengamini. Ketika waktu Isya tiba, Hajjaj keluar dan membebaskan Mauruq. Demikianlah kemuliaan Muththarif.

Pada tahun 81 H, ia meninggalkan dunia fana ini untuk menemui Tuhannya. Dunia yang selama hidupnya memang telah ditinggalkan oleh hatinya. Tapi kali ini tidak, ia tinggalkan dunia dengan hati dan jasadnya. Di antara wasiat yang ia sampaikan  pada sang adik adalah, agar jangan seorangpun mengadzankan jenazahnya. Semoga Allah meredhai Muththarif dan menempatkannya bersama orang-orang shalih.

Wallahu'alam!
Share

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar