Senin, 24 Desember 2012

Barakah Binti Tsa'labah, Seorang Pengasuh yang Baik

Sejarah lebih mengenalnya dengan Ummu Aiman. Ia adalah pengasuh Rasulullah saw pengganti ibu yang sangat penyayang. Siapa lagi yang didambakan seorang anak yatim piatu seperti Rasulullah saw, selain seorang pengasuh yang mencurahkan kasih sayang kepadanya. Wanita itu bisa tampil sebagai ibu yang membelainya setiap saat, menemaninya di kala sendirian atau bepergian. Dialah tempat tercurahnya segala keinginan dan pelepas segala dahaga kasih sayang.

Ketika itu penduduk Makkah sedang berkemas menghadapi datangnya pasukan gajah. Mereka menggalang kesatuan, persatuan, hidup saling membahu. Ditengah kesibukan mereka, Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah saw mengisolasi diri (uzlah), ingin mendapatkan ketenangan hati. Ia ingin membahagiakan anak yang berada dalam kandungannya. Sayang, sang suami terlalu cepat pergi menghadap Yang Maha Kuasa, hingga si janin dalam kandungan terhalang dari kebahagian yang diharapkan Aminah. Ayah si janin, adalah Abdullah bin Abdul Muthalib, yang kelak menjadi ayang seorang bayi bernama Muhammad bin Abdullah.


Walau keinginan Aminah tak kesampaian, namun cahaya yang dilihatnya memancar jernih, hingga dapat membawa kebahagian dan dapat melupakan kepedihan hati ditinggal suami yang tengah menimpa dirinya. Janin yang berada dalam kandungan dirawat dengan baik, hingga kemudian Allah menjadikan rasa kasih di dalam hati umat manusia. Mereka pun menyayangi anak Aminah yang lahir dalam keadaan yatim.

Ummu Aiman adalah budak wanita berkebangsaan Habasyah yang dimiliki Abdullah, yang kemudian menjadi warisan bagi anak yatimnya. Setiap kali Ummu Aiman memandang si yatim, timbullah rasa kasih sayang yang mendalam dalam hatinya, bahkan ia sangat mencintainya. Lalu ia asuh si yatim dengan penuh cinta kasih sebagaimana anak kandung sendiri. Melihat hubungan mesra antara Ummu Aiman dengan si yatim, banyak wanita tukang menyusui yang merasa iri. Ingin memisahkan keduanya, dengan harapan si yatim bisa menjadi anak susunya. Situasi inilah yang memaksa Ummu Aiman membawa si yatim ke daerah pegunungan, meninggalkan kota Makkah dan ibu kandungnya, selama beberapa tahun.

Pada suatu hari Aminah binti Wahab membawa si yatim pergi ke Yatsrib, bersilaturahmi dengan sanak famili yang berada di sana. Ia mengunjungi Bani Najar, yang merupakan rumpun keluarganya. Dalam kesempatn itu, Ummu Aiman ikut serta hingga si yatim menikmati kasih sayang dari dua hati yang mulia, ibu kandung dan ibu yang mengasuhnya.

Setelah dianggap cukup, Aminah segera kembali ke Makkah. Sayang, ketika kota Yatsrib mereka tinggalkan belum begitu jauh, Aminah jatuh sakit. Dan ajalpun menjemputnya. Di desa Abwa' Aminah dimakamkan. Suatu desa tak jauh dari makam suaminya. Yaitu pada suatu perjalanan pulang dari Yatsrib ke Makkah bersamanya waktu dulu, ketika anak kesayangannya masih dalam kandungan.

Dengan meninggalnya Aminah binti Wahab, berarti si bocah (Muhammad) yang berada dalam pangkuan Ummu Aiman menjadi yatim piatu. Ia tinggal bersama pengasuhnya lalu pulang ke Makkah menemui kakek dan paman-pamannya. Sejak itu Ummu Aiman berperan sebagai ibu. Mengasuh dan membimbingnya sewaktu kecil hingga dewasa. Ketika si yatim telah dewasa dan telah berumah tangga, Ummu Aiman dimerdekakan serta dikembalikan hak-haknya sebagai manusia, hingga kemudian hidup secara layak.

Ummu Aiman kemudian menikah dengan seorang penduduk Yatsrib yang telah lama bermukim di Makkah. Ia hidup berumah tangga penuh dengan kebahagian. Perjalanan waktu membuat semuanya berubah. Ummu Aiman pergi ke Yatsrib, meninggalkan Makkah bersama suaminya. Ia hidup di negeri kelahiran sang suami. Dalam perkawinannya dengan Ubaid, Ummu Aiman dikaruniai seorang anak bernama Aiman. Setelah suaminya meninggal, Ummu Aiman kembali kepada anak asuhannya (Muhammad) bersama anak kandungnya (Aiman bin Ubaid).

Allah senantiasa menyempurnakan nikmat-Nya kepada si yatim. Ia tidak pernah melalaikan ibu asuhnya. Ia tidak pernah melalaikan ibu asuhnya. Ia pernah mengungkapkan perasa hati kasih, "Ibu asuhku adalah keluarga rumahku yang masih tinggal." (Kutipan dari Al-Waqidi sebagaimana tersebut dalam kitab al-Ishabah).

Ketika Muhammad saw diangkat menjadi Nabi, Ummu Aiman termasuk orang yang pertama-tama memeluk Islam. Ia juga termasuk shahabiyat yang hijrah ke Madinah, ikut peerang Uhud, dan Khaibar. (Seperti yang disebut Ibnu Atsir dalam karyanya Usudul Ghabah 7363).

Rasulullah senantiasa berusaha untuk membahagiakan ibu asuhnya. Pada suatu ketika beliau bersabda kepada para sahabat, "Barang siapa yang ingin menikah wanita ahli surga, maka hendaklah ia menikahi Ummu Aiman." Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Zaid bin Haritsah segera menikahinya.

Pada waktu perang Uhud, Ummu Aiman tampil dengan gagahnya bersama kaum muslimin. Ia berkeliling membawa air, memberi minum orang-orang yang terluka dan kehausan. Pada perang Khaibar, ia juga hadir memberi semangat kepada kaum muslimin. 

Saat suaminya, Zaid bin Haritsah gugur dalam perang Mu'tah, Ummu Aiman sabar mendengar kabar suaminya. Kesabaran inilah yang selalu ia tanamkan kepada anaknya Usamah bin Zaid, sang panglima termuda Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah meninggal dunia, Ummu Aiman sangat berduka. Ia menyadari, anak yang dibelai dan dicintanya dengan kasih sayang itu, telah tiada. Tinggal ajaran mulia yang dibawanya yang kekal sepanjang masa. Dan, ia pun bertekad untuk berpegang teguh kepada ajaran agama yang dibawa anak asuhnya hingga ajal menjemput.

Ummu Aiman termasuk wanita yang dikarunia usia panjang. Dalam perjalanan hidupnya , ia mengikuti hijrah dua kali, dan meriwayatkan sekitar lima hadis. Ia hidup dalam kedamaian hingga masa pemerintahan Umar bin Khathab. Ia meninggal pada awal masa pemerintahan Utsman bin Affan.

Wallahu'alam!


Share

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar