"Diam adalah suatu kebijaksanaan dan sedikit orang yang melakukannya." (HR. Ibnu Hiban)
Allah swt menjadikan karakter manusia ada yang pendiam, ada yang banyak omong, dan ada yang diberi ciri khas pertengahan dari dua sifat itu. Dasarnya, pendiam berarti orang yang tidak banyak bicara. Umumnya mereka mengeluarkan rangkaian kata-kata seperlunya saja atau itupun kadang bila diminta orang lain. Setelah itu diam kembali. Lain halnya dengan orang yang dikenal banyak omong namun tiba-tiba diam. Disini tentu ada tanda tanya muncul.
Para ulama memberi petunjuk, bila seorang wanita yang menyandang status perawan dilamar laki-laki untuk dinikahi, kemudian si wanita sambil mesem-mesem dan tidak membantah, maka hal yang demikian mengisyaratkan bahwa si wanita sebetulnya ingin mengatakan diamnya sebagai tanda setuju terhadap pinangannya. Selanjutnya kedua belah pihak tinggal menentukan waktu ijab qabul dan merayakan pesta pernikahan. Disinilah diam berarti tanda setuju.
Dalam konteks lain, diam menyimpan arti adanya ketidaksetujuan pribadi maupun kelompok atas suatu fenomena, sikap dan keputusan yang datang dari pihak lain. Biasanya hal itu direalisasikan dalam bentuk reaksi protes. Misalnya sekelompok orang melakukan aksi diam dengan cara menutup mulutnya di depan kantor instansi pemerintah atau lembaga tertentu. Mereka secara membisu memprotes kebijakan penguasa atau pimpinan yang dinilai merugikan kelompok yang berbeda.
Seandainya seorang melihat kemaksiatan, ketidakadilan, kebatilan, kemunafikan, penindasan, dan kemungkaran di sekitarnya, kemudian dia diam, maka sesungguhnya dia telah berbuat salah besar. Artinya dia tidak peduli, cuek, dan tidak mau mengambil pusing dengan keadaan lingkungan sekelilingnya. Tipe insan seperti ini hanya menjadi duri dan benalu yang lebih memikirkan kepentingan diri sendiri ketimbang hajat bersama. Padahal agama Islam menuntut agar kita semampu mungkin bisa menghalau semua itu, entah melalui tangan, mulut, hati, maupun menunjukkan perilaku dan skap yang dapat menjadikan teladan bagi orang lain.
Disisi lain, bila kita mengerjakan kebaikan (beramal) dan kita diam setelah melakukannya, maka sebenarnya kita telah berbuat arif. Memang kebaikan tidak perlu dibicarakan apalagi disebarluaskan kepada orang lain. Sebab jika hal itu dibicarakan, maka takut akan menimbulkan riya' dan kita menjadi orang sombong. Disinilah sabda Rasulullah saw, "Barangsiapa banyak diam, maka dia akan selamat" (HR. Ahmad), berlaku.
Bisa jadi dalam konteks diatas, diam dipahami dengan tidak mencampuri urusan orang lain dan tidak membuat suasana keruh, kecuali bila kita diminta untuk turut serta. Atau daripada kita banyak berbicara yang tidak bermanfaat, ngelantur serta tidak jelas ujung pangkalnya, maka mengambil sikap diam sesungguhnya pilihan bijak. Pendek kata, kita mesti pandai kapan bersikap diam dan kapan waktunya membuka mulut.
Sumber: Lukman H, Majalah Sabili Tahun 4 Edisi 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar